Jumat, 30 Oktober 2009

PENDIDIKAN AGAMA

MEMPERSOALKAN SEDIKIT
TENTANG PENDIDIKAN AGAMA

Oleh: Suhardi


Ada kesan bahwa pembelajaran agama di sekolah lebih menekankan pada pembelajaran ilmu agama daripada pembelajaran hidup beragama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya beberapa hal. (1) Metode pembelajaran agama lebih banyak menggunakan metode ceramah. (2) Ukuran keberhasilan pembelajaran agama lebih banyak menunjuk kepada angka-angka (nilai) yang didasarkan pada hasil-hasil ulangan atau tes tertulis. (3) Perilaku kehidupan sehari-hari siswa masih banyak yang belum mencerminkan nilai-nilai atau ajaran agama, seperti kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, toleransi, dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, melalui tulisan yang singkat ini akan dicoba dijelaskan mengapa hal itu terjadi dan bagaimana kira-kira jalan keluarnya.

Alienasi Ilmu
Pada awalnya orang menuntut ilmu dimaksudkan untuk mempelajari bagaimana bisa hidup. Anak-anak di pantai belajar kepada orang tuanya bagaiman caranya membuat jala dan menggunakannya untuk menangkap ikan. Demikian pula halnya anak-anak petani di pedesaan. Mereka mempelajari bagaimana mengolah tanah dan menanam tanaman dengan baik kepada orang tua dan masyarakat di sekitarnya sehingga pada saat mereka dewasa mereka bisa melakukannya seperti halnya orang tua mereka. Hal ini berlaku juga bagi anak-anak yang dibesarkan di lingkungan perdagangan dan perindustrian. Hasil proses belajar seperti itu pada gilirannya menghasilkan anak-anak yang tidak hanya mengetahui ilmu dan pengetahuan tentang suatu hal tetapi juga terampil dan menguasai bagaimana menggunakan ilmu dan pengetahuannya itu.

Ketika proses pembelajaran itu dipindahkan ke sekolah atau madrasah ilmu dan pengetahuan yang sebenarnya hidup di masyarakat itu kemudian berpindah dari kehidupan nyata ke dalam buku-buku teks pelajaran. Siswa tidak lagi diajarkan oleh seorang pelaut yang sehari-harinya hidup di laut dan tahu betul bagaimana hidup di alam laut. Demikian juga siswa tidak lagi diajari oleh seorang petani yang paham betul bagaimana mengelola lahan pertanian. Di sekolah atau madrasah siswa diajari oleh guru yang bisa jadi atau bahkan kebanyakan mereka hanya tahu tentang kehidupan pantai tetapi ia bukanlah seorang nelayan atau pelaut. Guru tahu sedikit tentang pertanian tetapi ia bukanlah petani. Pemindahan ilmu dan pengetahuan dari kehidupan nyata atau konteks ke dalam buku-buku teks inilah barangkali yang disebut dengan alienasi[1] ilmu dan pengetahuan. Maksudnya adalah bahwa ilmu dan pengetahuan menjadi jauh dari dunia nyata. Anak-anak banyak tahu tentang berbagai hal melalui media yang sudah direkayasa dalam buku-buku teks dan tidak merasakan dan tidak mengalami bagaimana sesungguhnya ilmu dan pengetahuan itu teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Alienasi ilmu tersebut semakin menjadi sangat terasa manakala tujuan pembelajaran tidak dimaksudkan untuk hidup melainkan untuk menghadapi ujian. Ukuran keberhasilan dalam belajar ilmu adalah pada sejauh mana mereka bisa menghafal. Semakin tinggi hafalan mereka terhadap suatu ilmu dan pengetahuan maka anak dinilai sebagai semakin sukses. Demikian pula sebaliknya. Ibaratnya kurang lebih seperti kaset rekaman. Semakin bagus hasil rekamannya, maka akan disebut sebagai kaset yang bagus, sebaliknya kaset itu pelo, maka akan dikatakan bahwa kaset itu jelek atau tidak bagus. Jadi ukurannya bukanlah pada sejauh mana seorang anak bisa mengaplikasikan atau mempraktikkan nilai-nilai dari ilmu dan pengetahuan yang dipelajari ke dalam kehidupan sehari-hari, melainkan pada sejauh mana anak bisa mengerjakan soal-soal tes yang diberikan guru. Model pembelajaran seperti ini kemudian melahirkan anak-anak yang terbelah (split personality). Mereka tahu tetapi mereka tidak paham dan tidak merasakan bagaimana pengetahuan itu dikerjakan atau “bekerja” dalam diri mereka.

Alienasi ilmu dengan implikasinya ini tampaknya juga terjadi dalam pembelajaran agama. Ketika anak-anak belajar Aqidah Akhlak mereka disibukkan dengan menghafal rukun iman dan hal-hal yang terkait dengan keimanan, tetapi mereka kurang paham bagaimana membiasakan rukun iman itu dalam praktik kehidupan sehari-hari. Mereka hafal nama-nama malaikat tetapi mereka kurang paham apa yang harus dilakukan setelah hafal nama-nama malaikat itu. Apa hubungannya Malaikat Israil dengan fenomena kematian manusia yang begitu beragam. Mengapa si A ketika meninggalnya begitu menyenangkan sedangkan si B ketika meninggal kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga tahu bahwa Allah Mahatahu tetapi mereka juga ternyata tidak begitu malu-malu menyontek pada saat ujian. Dan sebagainya dan sebagainya.

Diantara Permasalahan Serius
Kalau ditanya kepada guru agama mengapa Bapak atau Ibu guru begitu serius dan sangat menekankan ilmu dan pengetahuan dalam pembelajaran agama. Mereka akan menjawab: “Karena agar mereka bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan pada saat UAS ataupun UAM”. Hal itu sangat terasa terutama pada saat anak-anak akan menempuh Ujian Akhir Madrasah (UAM). Guru tampaknya memang kurang berdaya berhadapan dengan UAS maupun UAS. Sebab kalau hasil UAS maupun UAM-nya jeblok mereka akan merasa bahwa dirinya adalah guru yang gagal. Inilah salah satu permasalahannya yang cukup serius.

Pertanyaannya adalah mengapa UAS dan UAM begitu ditakuti oleh guru? Karena selama ini soal-soal UAS dan UAM tidak dibuat oleh guru yang mengajar, tetapi dibuat oleh satuan atau perkumpulan guru, baik di tingkat kabupaten (FK3) atau di tingkat KKM (MGMP). Soal-soal yang dibuat oleh bukan guru pengajar memang wajar kalau menimbulkan ketakutan bagi guru yang tidak dilibatkan dalam pembuatannya karena ada kekhawatiran anak-anak yang diajarnya tidak bisa menjawab. Sehingga pemikiran singkatnya memilih untuk lebih baik memperbanyak pengetahuan daripada repot-repot memikirkan bagaimana membumikan atau mempraktikkan ilmu dan pengetahuan agama kepada setiap siswa yang diajarkan.

Pemikiran sederhana semacam ini ada benarnya, tetapi sesungguhnya perlu dan penting untuk dikritisi, karena ada kesan bahwa mempraktikkan ilmu dan pengetahuan hanya akan mengurangi kekuatan otak dalam menyerap dan mengingat ilmu dan pengetahuan. Ini sama kurang tepatnya ketika mengatakan bahwa kalau anak-anak banyak belajar tentang ilmu dan pengetahuan mereka tidak memiliki waktu untuk mempraktikkannya. Guru-guru akan mengatakan, “Mana cukup untuk mempraktikkan? Waktu kami hanya 2 jam pelajaran satu minggu.”

Sebetulnya yang diinginkan bukannya mempertentangkan antara teori dan praktik, atau mempertahankan teori kemudian menghilangkan yang praktik, atau sebaliknya. Melainkan bagaimana menyeimbangkan keduanya. Karena kita juga sadar bahwa praktik saja tanpa teori juga tidak akan membawa hasil pembelajaran maksimal. Demikian juga teori saja tanpa dipraktikkn juga hanya mengantarkan kepada kebingungan.

Memang tidak semua ilmu dan pengetahuan bisa dipraktikkan, tetapi dalam konteks pembelajaran agama, saya kira sangat banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa dipraktikkan. Contoh yang sangat jelas adalah pembelajaran tentang shalat Tahajud dan Puasa Sunah Senin-Kemis. Guru mengajarkan tentang pengertian dan keutamaan shalat Tahajud dan juga puasa sunnah Senin-Kemis. Tetapi sangat jarang guru agama yang menyelenggarakan praktik shalat Tahajud dan mengajak anak-anak untuk berpuasa Senin-Kemis. Akibatnya pengetahuan dan ilmu tentang Shalat Tahajud dan puasa sunnah Senin-Kemis hanya diketahui dan tidak dipraktikkan. Kalau dipraktikkan saja tidak, bagaimana hal itu bisa dibiasakan?

Penulis jadi teringat ungkapan Lao Tze yang mengatakan bahwa kalau aku mendengar, maka aku lupa. Kalau aku melihat maka aku ingat sebagian, dan kalau aku melakukan maka aku akan paham. Ini artinya kalau anak-anak diajarkan mempraktikkan ilmu dan pengetahuan agama, maka kekhawatiran anak-anak menjadi kurang daya serap dan daya hafalnya menjadi tidak beralasan. Tindakan-tindakan praktis justru akan memperkuat daya serap dan daya ingat anak pada ilmu dan pengetahuan. Bahkan lebih dari itu tindakan-tindakan praktis akan memperkaya ilmu dan pengetahuan siswa karena sangat dimungkinkan siswa akan menemukan dan merasakan hal-hal baru dari praktik yang dirasakan. Ketika siswa mempraktikkan shalat Tahajud bisa jadi siswa akan menemukan manfaat-manfaat baru dan sangat pribadi sifatnya dibandingkan dengan segudang manfaat yang dijelaskan oleh guru. Demikian juga halnya dengan praktik puasa Senin-Kemis.


Tinggal Mau atau Tidak
Dengan memperhatikan bahwa antara praktik dan teori justru saling mendukung, maka sesungguhnya persoalannya tinggal pada action will atau kemauan untuk bertindak dari guru-guru agama sendiri. Kalau guru-gurunya tidak mau sedikit cape untuk merumuskan secara praktis bagaimana memadukan teori dan praktik, maka sesungguhnya akan terbuka sejuta jalan untuk melaksanakannya, tetapi kalau belum apa-apa sudah merasa sulit apalagi berpikir bahwa hanya akan merepotkan saja, maka pembelajaran agama hanya akan begini-begini saja sampai kapan pun.

Menjalani rutinitas hidup termasuk menjalani pekerjaan mengajar yang begini-begini saja sesungguhnya tidak menguntungkan. Kehidupan yang begini-begini saja adalah kehidupan yang tidak menantang. Karena tidak menantang maka kehidupan itu menjadi tidak memberikan banyak warna. Dengan demikian, maka kehidupan menjadi tidak nikmat. Nah, saya jadi bertanya apa yang dinikmati oleh guru agama—demikian juga guru yang lain—manakala mengajar hanya berjalan tidak ada dinamika?

Tawaran Jalan Keluar
Kata orang-orang bijak, kalau kita ingin mengubah apa yang di luar diri kita, maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah apa yang ada di dalam diri kita. Kalau seorang guru ingin mengubah anak-anak agar mereka tidak hanya memperoleh teori dalam belajar agama, maka yang harus diubah terlebih dahulu adalah apa yang ada di dalam guru-guru agamanya. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang menjelaskan bahwa
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.[2]

Nah, yang perlu diubah dari yang ada di dalam diri guru agama adalah pola pikir (mindset) dan pola aksi (actionset). Pola pikir guru agama yang mengatakan bahwa mengajar agama adalah mengajarkan ilmu dan pengetahuan agama sebaiknya diganti dengan membelajarkan ilmu dan pengetahuan sekaligus juga membelajarkan kehidupan beragama. Jadi anak-anak tidak hanya belajar ilmu dan pengetahuan agama tetapi juga belajar bagaimana cara-cara hidup beragama. Keduanya harus seimbang dan saling menguatkan. Belajar ilmu dan pengetahuan agama menjadi dasar bagi praktik-praktik hidup bergama, sedangkan belajar hidup beragama memperkaya dan memperdalam serta menghayati ilmu dan pengetahuan agama.

Adapun pola tindak atau actionset adalah akibat saja dari adanya perubahan pola pikir (mindset). Kalau guru-guru agama sudah memahami bahwa antara ilmu dan pengetahuan agama harus diseimbangkan dengan praktik hidup beragama, maka cara-cara mengajar, cara-cara penilaian, dan cara-cara mendekati anak dalam pembelajaran tentu harus selaras. Ketika mengajarkan shalat Tahajud yang selama ini hanya mengandalkan metode ceramah, perubahannya adalah menambahkannya dengan mempraktikkannya, syukur-syukur membiasakannya. Demikian juga halnya dengan pembelajaran puasa sunnah Senin-Kemis, pembelajaran Rukun Iman, dan sebagainya.

Dengan memperluas wilayah praktis dalam pembelajaran agama, mungkin dalam benak pikiran guru akan mengatakan bahwa penambahan itu akan menambah waktu. Pemikiran seperti itu benar kalau kita berpikirnya kuantitatif. Tetapi kalau berpikirnya kualitatif maka jawabannya akan “tidak selalu dan tidak harus”.

Cara berpikir kuantitatif akan mengatakan bahwa semakin banyak waktu dan tenaga serta bahan yang diberikan kepada anak maka akan semakin baik dan semakin berhasil sebuah pembelajaran, dan sebaliknya. Model berpikir seperti ini untuk konteks sekarang sudah kurang relevan. Pada kenyataannya semakin banyak waktu, semakin banyak tenaga, dan semakin banyak materi justru menjadikan anak stress. Daya stress ini semakin menjadi karena daya tampung anak terhadap materi pelajaran hanya mengandalkan pada otak sebagai penyimpan ilmu dan pengetahuan. Padahal ketika ilmu dan pengetahuan itu dibagi kepada wilayah-wilayah lain, seperti tangan, kaki, mata, telinga, bahkan pada wilayah hati, maka beban yang banyak itu menjadi ringan.

Jadi, persoalannya bukannya pada seberapa banyak waktu, tenaga, dan materi yang kita berikan dalam mengajar melainkan pada seberapa tepat dan seberapa berkualitas waktu, tenaga, dan materi yang kita berikan pada saat pembelajaran. Inilah yang dimaksud dengan model mengajar cerdas.

Berikut ini ada beberapa trik bagaimana kita bisa mengajarkan agama—dan juga pelajaran yang lain—secara cerdas. Tentu saja, trik ini bukan satu-satunya. Diharapkan guru bisa lebih kreatif dalam menemukan trik-trik mengajar cerdas. Dengan mengajar cerdas, niscaya mengajar akan menjadi hidup, mengajar akan menjadi lebih bergairah, dan mengajar akan menjadikan kita lebih bermakna sebagai seorang guru. Bukan sebaliknya menjadi beban yang membosankan dan memberatkan, menjadi rutinitas kerja yang konstan, dan menjadi sekadar “menghalalkan” insentif yang kita terima. Saya yakin, kita semua tidak mau seperti itu bukan? Nah, trik-trik yang dimaksudkan diantaranya adalah:

Pertama, kita harus bisa memilah secara jeli bagian materi yang substansi dan bukan substansi (accident). Nah, yang substansi inilah yang harus mendapatkan penekanan. Biasanya dalam seluruh mata pelajaran yang substansi—sejalan dengan Hukum Pareto[3]—kurang lebih hanya ada 20% materi yang dianggap substansial, sedangkan sisanya, yakni 80%, adalah materi-materi pelengkap. Demikian pulan hanya dalam materi yang tersaji dalam satu KD, biasanya yang substansi hanya ada 20% sisanya adalah pelengkap. Bukankah soal-soal yang keluar dalam ulangan pada umumnya juga hanya berjumlah 20% dari yang kita ajarkan? Kalau demikian halnya perlakukan yang 20% dan yang 80% itu secara proporsional. Pada yang 20% berikan penekanan dan ajarkan sampai tuntas, tetapi yang 80% serahkan saja kepada siswa untuk mencarinya sendiri.

Kedua, ajaklah anak-anak untuk menjawab pertanyaan mengapa dan pertanyaan bagaimana menerapkan dari materi yang dipelajari. Selama ini anak-anak hanya disodorkan pada pertanyaan apa. Akibatnya anak-anak tidak memahami manfaat atau makna dari materi yang dipelajari. Dengan mengajarkan anak-anak untuk menelisik dari pertanyaan mengapa dan bagaimana berarti mengajak anak untuk memaknai dan mengerti manfaat dari apa yang dipelajari. Proses pencarian makna dan manfaat berarti proses mengaktualisasikan atau mengkontekstualisasikan pelajaran dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Inilah barangkali yang dimaksudkan dengan pembelajaran bermakna dalam konteks Contextual Teaching and Learning (CTL)[4] dan dalam konteks Pembelajaran Quantum (Quantung Teaching).[5] Dalalam Pembelajaran Quantum dikenal dengan prinsip AMBAK, kependekan dari Apa Maknanya Bagiku. Maksudnya adalah upaya seseorang atau siswa untuk menemukan makna di balik materi yang dipelajari.

Implikasi dari langkah ini adalah anak-anak akan menjadi termotivasi untuk belajar karena ia paham betul makna dan manfaat dari apa yang dipelajari. Pertanyaannya adalah apakah hal itu berlaku secara otomatis? Memang ketika anak mengerti makna dan manfaat tidak secara otomatis kemudian ia termotivasi untuk belajar. Oleh karena itu guru memegang peranan penting untuk mengaitkan makna dan manfaat dengan motivasi. Saya kira semua orang memahami makna, manfaat, dan keuntungan berbuat baik. Diantaranya akan mendapatkan syurga. Tetapi mengapa masih ada orang yang tidak termotivasi untuk berbuat kebaikan? Salah satu diantaranya adalah karena kurangnya motivasi dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, guru memiliki peran yang besar dalam menciptakan motivasi belajar siswa. Nah, dengan mendorong anak untuk mencoba mencari sisi-sisi manfaat dan sisi praktis dari pembelajaran sepertinya siswa akan terdorong untuk belajar. Jangan sampai siswa kemudian berkata: AH, CUMA TEORI!!!

Ketiga, kita harus kreatif mencari sisi-sisi praktis dari pelajaran yang diajarkan. Selanjutnya kita juga harus kreatif menciptakan media pembelajaran yang ada di sekitar siswa, baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah. Pembelajaran shalat berjamaah bisa memilih shalat berjamaah di mesjid madrasah atau masyarakat sebagai media untuk menajamkannya. Pembelajaran kebersihan kita bisa memilih lingkungan sekolah dan lingkungan rumah siswa sebagai medianya. Kejujuran bisa memanfaatkan koperasi dan kantin sekolah sebagai medianya. Kepedulian terhadap sesama bisa memilih anak jalanan sebagai medianya. Tatatertib sekolah bisa mengambil tatatertib madrasah sebagai medianya. Saya kira masih sangat banyak lingkungan di sekitar siswa dan madrasah yang bisa dijadikan sebagai media pembelajaran. Menjadikan lingkungan di sekitar siswa dan madrasah sebagai media pembelajaran berartu mengintegrasikan antara ilmu dan pengetahuan dengan kehidupan sekitar. Ini pulalah yang disebut dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal. Kata Nabi, ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon berambut lebat tetapi tidak ada buahnya. Jadi, kalau kita menjejali siswa terus-menerus dengan teori tanpa praktik, maka sesungguhnya kita sedang menanam pohon yang berdaun lebat tetapi tidak ada buahnya. Pohon yang demikian, paling hanya bisa untuk berteduh dan kayunya dibuat kayu bakar. Tetapi kita tidak bisa menikmati buahnya.

Dengan trik-trik yang sederhana ini, semoga bisa sedikit membumikan ilmu dan pengetahuan agama yang diajarkan kepada siswa kita. Kita tidak ingin siswa hanya sekadar tahu, tetapi tidak mampu untuk mengaplikasikan. Kita juga tidak ingin anak-anak kita sekadar pintar berpikir dan berceloteh tentang pengetahuan tetapi rendah kemauan dan kemampuan untuk mempraktikkannya. Bukankah agama Islam adalah agama amal? Simaklah pesan al-Qur’an
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُون
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.[6]
WallaHu a’lam bishawab


[1] Istilah alienasi berasal dari bahasa Latin alieanus yang berarti asing, maksudnya adalah suatu keadaan di mana hal-hal menjadi asing atau aneh bagi kesadaran. (Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: Rosda Karya, 1995, Cet. ke-1. hal. 7)
[2] Q.S. Ar-Ra’d/13: 11
[3] Hukum Pareto mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari bagian yang 20% akan menentukan yang 80%. Kesuksesan seseorang sangat ditentukan oleh 20% dari usaha yang dilakukannya. Oleh karena itu berikan fokus pada 20% dari apa yang dilakukan. (Baca: Richard Coch, The 80-20 Principle: Rahasia untuk Memperoleh Lebih Banyak Hasil dengan Lebih Sedikit Usaha, terj. Jakarta: BIP, 1997, Cet. ke-1)
[4] Salah satu prinsip dalam CTL adalah kebermaknaan, yaitu memberikan makna pada apa yang dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari. Baca: Elaine B. Jhonson, Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, terj. Bandung: MLC, 2007. Cet. ke-3)
[5] Baca: Boby De Potter dan Mike Hernacki, Quantum Teaching, Bandung: Kaifa, 1999, Cet. ke-4)
[6] Q.S. Ash-Shaff/61: 3

1 komentar:

  1. assalamualaikum wr wb.
    jazakallahu khair atas masukannya.amat bermakna dan menolong insya Allah.pikiran yg tdnya ngacak jd lebih terpola.saya insya Allah mau mulai mengajar anak2.terus terang bingung spt apa.terutama menghadapi ragam sifat anak.n bgmn agar ada perubahan nyata dlm diri sang anak. terutama masalah keimanan n amalan. terima kasih n mohon masukan yg lainnya ditunggu.n doanya.
    wassalamualaikum wr wb

    BalasHapus