Kamis, 25 Februari 2010

KATUP KECIL DARI UAD YOGJAKARTA

KATUP KECIL DARI UAD YOGYAKARTA
Sebagai Momentum Kebangkitan Bangsa
Oleh: Suhardi


Suatu pagi saya iseng-iseng membuka klipingan artikel dari harian Kompas, 3 Desember 2009 yang belum sempat saya abaca. Di dalam artikel tersebut diberitakan bahwa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta menghentikan pengiriman dosen untuk kuliah di Malaysia. Keputusan itu dimbail karena kualitas pendidikan tinggi di Malaysia dinilai tidak lebih baik dari perguruan tinggi di Indonesia. Selanjutnya UAD akan mengirimkan dosen-dosennya untuk belajar di beberapa negara yang pendidikan tingginya dinilai bagus, yaitu Jepang, Australia, atau negara-negara di Eropah.

Ada dua hal yang menarik dari isi pemberitaan di atas. Pertama, bahwa yang melakukan penghentian itu adalah UAD Yogyakarta. Kalau kita menyebut nama UAD, maka dalam benak kita yang muncul adalah sebuah perguruan tinggi Islam dan berstatus swasta. Pertanyaannya adalah ada apa dengan perguruan tinggi Islam dan ada pula dengan perguruan tinggi swasta? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa Malaysia yang selama ini diinformasikan lebih baik dari Indonesia dalam hal pendidikan tinggi adalah negara yang lebih kental keislamannya. Tentu saja ketika yang dihadapkan untuk menghentikan pengiriman dosen ke Malaysia adalah perguruan tinggi Islam, maka akan muncul kesan bahwa tidak semua perguruan tinggi Islam tidak berani untuk bersikap kritis apalagi berani untuk “memutuskan” kerjasama terhadap Malaysia karena ada benang keislamannya itu. UAD Yogyakarta secara kebetulan juga merupakan perguruan tinggi swasta. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ternyata untuk kelas perguruan tinggi swasta pun, kini Malaysia sudah tidak diminati. Ini bukan berarti bahwa semua perguruan tinggi swasta kualitasnya rendah dari perguruan tinggi negeri. Ada beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup berkualitas, sebut saja Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Paramadina, Universitas Atmajaya, dan sebagainya.

Kedua, pemberitaan ini dimunculkan dalam waktu yang tepat. Pada saat ini tampaknya kesan bahwa pendidikan tinggi di Malaysia lebih baik dari Indonesia sepertinya sudah diiyakan oleh banyak kalangan. Di dalam forum-forum seminar atau semacamnya banyak pembicara yang menyatakan akan hal itu. Tetapi di sisi lain kita juga dibuat gregetan dengan ulah Malaysia yang sering mengusik keindonesiaan kita. Malaysia sudah berani merebut pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayahnya. Malaysia juga berani mempromosikan dunia luar melalui internet bahwa salah satu kepulauan kecil di wilayah Provinsi Riau sebagai asetnya dan ditawarkan untuk dijadikan sebagai tujuan wisata. Yang menyakitkan lagi adalah Malaysia mengklaim beberapa kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaan Malaysia, seperti Tari Pedet, Tari Reog, dan juga beberapa lagu daerah.

Tampaknya Malaysia yakin benar bahwa dirinya lebih baik daripada Indonesia. Adanya pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysa juga semakin meyakinkan Malaysia tentang hal ini. Dengan keyakinannya itu Malaysia menyangka kemudian bisa berbuat semaunya terhadap Indonesia. Malaysia mengira bahwa masyarakat Indonesia yang sekarang dalam posisi sedang terpuruk itu akan mudah untuk diperdaya. Inilah tampaknya yang mendasari dikembangkannya sikap-sikap over acting yang ditunjukkan oleh Malaysia kepada negara tetangganya yang dulunya merupakan penolong bagi dirinya—karena pada tahun 1970-1980-an Malaysia banyak mengirimkan mahasiswanya untuk kuliah di Indonesia.

Kita patut bersyukur bahwa pemerintah kita bersikap tenang menghadapi ulah tetangganya yang bisa dianggap adik tersebut. Bukannya kita tidak berani, tetapi selain juga tidak baik bertengkar dengan tetangga dekat juga karena bangsa ini memang sedang disibukkan dengan permasalahan internal yang belum selesai. Daripada mengurusi ulah negara tetangga, bangsa ini lebih memilih untuk memilih berbenah ke dalam terlebih dahulu. Ulah negara tetangga tersebut diambil hikmahnya saja untuk semakin menyadarkan pentingnya membenahi banyak hal yang selama ini belum atau tidak sempat dibenahi.

Sesungguhnya di dalam benak masyarakat bangsa ini secara diam-diam merasa bangga dengan Indonesia dan merasa yakin bahwa kita adalah bangsa yang besar dalam berbagai hal. Dari segi wilayah kita adalah bangsa yang luas. Dari segi pendidik kita adalah bangsa yang banyak penduduknya. Dari segi kekayaan alam, kita adalah bangsa yang kaya. Dari segi kebudayaan, kita adalah bangsa yang kaya dengan keragaman budaya. Dari sisi keharmonisan social, kita adalah bangsa yang mampu hidup toleran. Dan sebagainya. Hanya saja bangsa ini belum menemukan momentum yang tepat untuk bangkit kembali secara revolusioner tampil sebagai negara yang disegani.

Nah, apa yang dilakukan oleh UAD Yogyakarta itu bisa dianggap sebagai katup kecil yang bisa dijadikan sebagai momentum awal bagi kebangkitan Indonesia yang terpuruk sejak 1998 akibat adanya kritis ekonomi dengan berbagai implikasinya. Untuk melakukan kesadaran dan kebangkitan yang besar, memang bisa dimulai dari hal-hal yang kecil terlebih dahulu. Ibarat sebuah benda kecil yang jatuh di tengah kolam, maka benda itu akan menimbulkan gelombang yang riaknya akan melebar ke seluruh kolam. Langkah UAD Yogyakarta telah memangkas adanya kesan baru yang tidak menguntungkan untuk menjadi kesan permanen. Kesan bahwa Malaysia lebih baik dari Indonesia adalah kesan baru yang jika tidak segera dipangkas akan menjadi kesadaran permanen yang juga tidak menguntungkan.

Namun demikian, kita tampaknya perlu juga berterima kasih kepada Malaysia. Karena ulahnya yang menyebalkan itu menyadarkan akan adanya kelemahan-kelemahan kita yang juga menyebalkan. Bisa jadi kalau Malaysia tidak melakukan ulah yang menyebalkan itu, berbagai persoalan bangsa kita yang menyebalkan juga tidak cepat diselesaikan. Bisa jadi sampai detik ini bangsa kita akan terus menjadi bangsa yang menyebalkan—meminjam istilah Eep Saefullah. Perilaku elit politik yang menyebalkan mungkin akan terus ada, penanganan pendidikan yang menyebalkan mungkin juga tidak akan berubah seperti sekarang ini, pemeliharaan kebudayaan yang menyebalkan mungkin juga akan semakin amburadul, kurangnya keberpihakan kepada ekonomi kerakyatan mungkin juga akan terus berlangsung, konflik-konflik sosial juga akan terus ada.

Tetapi dengan ulah Malaysia yang menyebalkan itu, kini keluarga besar bangsa Indonesia semuanya melakukan pembenahan. Potret moral elit politik kita—mudah-mudahan—semakin baik. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan mengarah kepada perbaikan-perbaikan. Kekayaan kebudayaan sudah mulai dibenahi. Pembangunan ekonomi juga ada keinginan untuk berubah dan mendukung kepada ekonomi kerakyatan. Demikian juga konflik-konflik sosial juga sudah mulai diminimalisasi.













Minggu, 10 Januari 2010

BERJIHAD DALAM ILMU PENGETAHUAN

BERJIHAD DALAM ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Suhardi


Salah satu perbedaan manusia dengan binatang dan makhluk-makhluk lain adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat berbagai potensi yang cukup kompleks. Makhluk-makhluk lain yang cenderung memiliki potensi dominan. Malaikat misalnya, hanya memiliki potensi spiritualitas, iblis atau syetan hanya memiliki potensi hawa nafsu yang mendorong kepada kejahatan, hewan memiliki potensi instink. Tetapi di dalam diri manusia semuanya itu ada, yaitu spiritual, hawa nafsu, dan instink. Selain itu, ada potensi yang khas yang dimiliki manusia, yaitu akal. Dengan akal inilah manusia mampu untuk menganalisis, bisa meramalkan, dan bisa melakukan uji coba. Melalui akal pulalah manusia kemudian bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Karena begitu kompleksnya potensi yang dimiliki manusia, maka kehidupan manusia pun menjadi sangat kompleks dan dinamis. Manusia menjadi sangat memungkinkan untuk melakukan berbagai perubahan. Perubahan itu sendiri memiliki berbagai kemungkinan, yaitu perubahan ke arah positif dan perubahan ke arah negatif..
Satu hal yang bisa dijadikan pedoman untuk mengukur apakah perubahan itu positif atau negatif adalah mencocokannya dengan aturan Allah (Al-Qur’an maupun as-Sunnah). Di sinilah diperlukan kecerdasan akal. Al-Qur’an menunjukkan hal itu.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang mendalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah itu). (Q.S. Al-Baqarah: 168)

Dengan demikian, jelaskan bahwa akallah yang mampu menghubungkan apakah perubahan itu sesuai atau tidak dengan kebenaran Allah yang tertuang di dalam al-Qur’an ataupun yang disampaikan oleh Nabi melalui as-Sunnah. Jadi, akal memiliki peran yang sangat menentukan.
Dengan akal yang dimilikinya, saat ini manusia banyak menemukan ilmu pengetahuan dan juga teknologi. Karena begitu produktifnya temuan-temuan akal dalam bidang ilmu pengetahuan dan juga teknologi, maka bisa dikatakan sekarang ini adalah era akal. Hal yang demikian itu adalah sesuatu yang baik-baik saja, karena Islam memang mendorong kepada manusia untuk menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya guna menemukan ilmu pengetahuan dan juga teknologi dengan cara memperhatikan fenomena-fenomena alam.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali Imron/3: 190)

Di sisi lain, Allah juga menegaskan bahwa orang yang bodoh, yaitu orang yang tidak menggunakan akalnya, adalah seburuk-buruk makhluk.

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. (Q.S. Al-Anfal/8: 22)

Persoalannya adalah benarkah sekarang adalah era akal dan era ilmu pengetahuan? Sebelum menjawab pertanyaan itu, marilah kita perhatikan fenomena berikut:
  1. Pertama-tama Ibn Haitam menemukan Ilmu Fisika khususnya dalam hal cahaya. Pada abad ke-12, Roger Bacon mengembangkannya menjadi ilmu Fisika modern. Demikian pula halnya dengan William Durrant. Mereka mengakui bahwa guru Fisika mereka adalah Ibn Haitam. Dari ilmu Fisika itu kemudian lahirlah kamera dan film. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Banyak bermunculan film-film yang tidak mendidik karena mengangkat tema-tema mistik, kekerasan, dan pornografi.
  2. Einstein setelah bekerja begitu lama di ruang laboratoriumnya, akhirnya menemukan teori tentang atom yang kemudian berkembang menjadi ilmu nuklir. Tetapi sekarang yang kita lihat beberapa negara dengan arogansinya menjadikan nuklir untuk menjajah negeri lain. Bahkan kita bisa menyaksikan dengan senjata nuklir tersebut suatu negara dapat dengan sadis melenyapkan ribuan bahkan jutaan nyawa manusia.
  3. Dunia kedokteran yang dirintis oleh Ibn Sina mengenal adanya ramuan obat-obatan yang berasal dari zat-zat kimia. Tetapi sekarang juga dikembangkan ramuan-ramuan kimiawi yang justru membahayakan kehidupan manusia dalam bentuk psikotropika yang justru merusak milik manusia yang sangat berharga, yaitu akal.
  4. Demikian juga halnya sejak akal menemukan ilmu-ilmu ekonomi. Dengan ilmu-ilmu ekonomi tersebut manusia sekarang mengembangkan Kapitalisme untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dan seringkali kurang mempertimbangkan faktor-faktor kemanusiaan.

Apa yang tersirat dari fenomena di atas adalah bahwa sesungguhnya akal saat ini sedang dipenjara oleh nafsu syahwat, kekuasaan, dan keserahan. Dengan kata lain akal telah dieksploitasi oleh hawa nafsu. Dan eksploitasi tersebut sekarang ini benar-benar sudah menunjukkan pada suatu kondisi yang tidak terperikan. Oleh karena itu, kalau kita kemudian mempertanyakan kembali, benarkah sekarang ini adalah era akal dan era ilmu pengetahuan? Dari fenomena di atas, jawabannya ternyata bukan. Yang terlihat adalah bahwa sekarang ini adalah era perbudakan akal dan ilmu pengetahuan oleh hawa nafsu.


Tugas kita sebagai umat Islam, khususnya para pendidik, adalah mengembalikan akal sesuai dengan fungsi dianugerahkannya kepada manusia oleh Allah dan mengembalikan hakikat ilmu sebagai cahaya kehiduan (al-ilmu nuurun). Kalau dunia Barat dengan motif ekonomi dan juga motif hawa nafsu mampu mengembangkan sains dan teknologi, maka umat Islam dengan motif spiritualnya harus lebih gigih menggunakan akalnya untuk menemukan sains dan teknologi. Jadi kita harus mengobarkan jihad dalam ilmu pengetahuan, sehingga masa depan ilmu pengetahuan ke depan tidak menghamba kepada hawa nafsu, melainkan menghamba kepada yang empunya melalui yang diamanahkannya, yaitu manusia.